Negara Bunuh Diri dengan Pajak

Pengelola Negara Belum Sadar dan Paham Pajak

Tanpa disadari, situasi sekarang ini perlahan tapi pasti negara ini sedang menuju bunuh diri dalam bidang keuangan, sumber dana pembangunan. Sumber utama pendanaan kelangsungan kehidupan bernegara sebagian besar dari pajak, kurang lebih 80 persen setiap tahunnya. Semua pejabat memahami itu, sebagian besar pegawai negeri pasti mengerti, bahwa gajinya dibayarkan dari dana pajak. Lalu dimana masalahnya masalahnya?

Mari bersama-sama kita bertanya dari hati ke hati kepada para pejabat-pejabat yang berwenang dan sangat berpengaruh dalam kehidupan bernegara ini, apakah mereka sudah memahami pajak? Apakah mereka sudah mempunyai kesadaran untuk membayar pajak? Maka saya kok berani mengatakan sebagian besar jawabannya adalah tidak. Maka berikutnya yang terjadi adalah tanpa pemahaman tentang pajak, bagaimana akan sadar pajak, apalagi membayar pajak dengan sukarela. Sepertinya masih sebuah keniscayaan.

Negara kita mewarisi paham feodal, dimana figur menjadi tokoh sentral dalam sebuah perilaku. Dalam bidang perpajakan, saat ini tokoh masyarakat belum mampu menjadi contoh yang layak dibanggakan. Padahal mereka adalah yang menguasai sebagian besar kehidupan perekonomian bangsa ini, biasanya pengusaha adalah penguasa, tanpa uang saat ini adalah sebuah keniscayaan untuk meraih kekuasaan. Penggerak kehidupan bangsa belum bisa dijadikan teladan, lalu bagaimana kita mengharapkan masyarakat biasa taat dan sadar pajak, harapan yang sia-sia, bagai menegakkan benang basah.

Penyusunan Target Pajak Tidak Hati-Hati

Kondisi ini bisa dikatakan bunuh diri buat negara kita. Penghancuran sebuah negara bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari mengadu domba, krisis energi, krisis pangan, atau hal-hal lain. Tetapi sepertinya negara kita tanpa disadari menghancurkan dirinya sendiri dari bidang keuangan. Ingat bunuh diri dan bukan dibunuh, tentu lebih miris mendengarnya.

Kali ini kita akan membahas focus pada masalah penerimaan pajak. Saat ini target penerimaan pajak disusun tidak berdasarkan potensi masing-masing daerah, penyusunan tidak dilakukan dengan bottom up, dari daerah ke pusat. Tetapi penyusunan dilakukan oleh pusat dan di share ke daerah, top down. Angka dibuat berdasarkan balancing belanja negara dan penerimaan. Atas kekurangannya ditutup dari pajak.

Rencana penerimaan dihitung dengan menggunakan prosentase tertentu dari Penerimaan Domestik Bruto (PDB). Padahal dalam komponen PDB ini ini tidak semuanya bisa dikenakan pajak. Ada yang bisa dikenakan tetapi kita belum mampu melacaknya, di antaranya ada underground economy, atau transaksi-transaksi illegal. Atau memang transaksi yang benar-benar tanpa pajak, misalnya subsidi, hibah luar negeri, sosial, CSR, pendapatan dari sektor pendidikan.

Kondisi tidak pas berikutnya, negara menetapkan target sebesar Rp1.294,26 triliun naik 31.41% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2014. Padahal tahun 2014 realisasi penerimaan pajak hanya naik sebesar Rp 6,91% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2014. Perkiraan inflasi tahun ini di kisaran angka 4%, sedang pertumbuhan ekonomi di kisaran angka 5% saja, pemerintah sudah agak terseok-seok mengejarnya. Maka Rencana penerimaan pajak yang realistis pada tahun 2015 seharusnya tidak lebih dari 20 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun 2014.

Penghancuran Negara dari Bidang Keuangan

Penerimaan pajak total, termasuk PPh migas per 29 Oktober 2015 tercatat Rp758,27 triliun atau 58,6% dari target tahun 2015. Angka ini jauh dari target yang ditetapkan.

Direktorat Jenderal Pajak dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab saat realisasi penerimaan pajak sampai dengan Oktober 2015 yang masih jauh dari target. Ini adalah hal yang sangat biasa, biasa salah. Orang pajak disalahkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya, penyusunan target terlalu dipaksakan, angka turun dari langit.

Padahal dengan adanya system selfassesment kita sama-sama memahami bahwa penerimaan pajak itu berasal dari pembayaran uang yang dimiliki wajib pajak, dari penghitungan, penyetoran dan pelaporan mereka sendiri. Wajib Pajak diberi keleluasaan penuh untuk menghitung pajaknya, menyetorkan sendiri, dan melaporkan sendiri. Besar kecilnya, jumlah berapa yang harus dibayar, harus bayar atau tidak itu hanya wajib pajak dan Tuhannya yang tahu.

Jadi kenapa jadi petugas pajak yang salah? Aneh, bingung, gagal paham, atau sesat pikir. Petugas pajak tugasnya hanya mengawasi, dan memberi konsultasi akan kewajiban perpajakan apabila diperlukan. Walaupun kita harus mengakui bersama-sama, disinilah kelemahan DKP saat ini. Pemahaman wajib pajak yang masih jauh dari ideal. Ya gimana bisa, DJP itu kecil, tapi harus menanggung beban yang besar.

Bagaimana negara tidak siap-siap bunuh diri, ketika pendanaan sebagian besar berasal dari pajak tetapi pengelola negara ini justru tidak paham bagaimana mekanisme pemungutan pajak, tidak paham bahwa ketika target tidak tercapai sebagian besar disebabkan oleh pihak eksternal yaitu Wajib Pajak dan Sistem cek and balance yang seharusnya ada untuk melakukan control terhadap seluruh transaksi keuangan. Jelas-jelas disini ada pemahaman yang keliru dan parah, untuk hal yang sangat besar.

DJP Dikerdilkan

Peran DJP begitu besar, Pegawainya sangat banyak, Institusinya besar. Tetapi secara nyata dan fakta DJP dikerdilkan oleh negaranya sendiri. Jika dilihat dalam komposisi penerimaan negara, baik dari sektor migas, sektor BUMN tidak lebih dari 20 persen tetapi mereka di bawah kementerian tersendiri, tetapi tidak halnya dengan DJP. Saya sangat memahami, pola kerja di DJP sangat berbeda dengan para pimpinan yang berasal dari kalangan politik. Manuver sebuah keputusan, kepentingan yang selalu dititipkan lewat DJP oleh kemenkeu sangat kental. Walaupun yang namanya kepentingan itu tidak mungkin diteriakkan keras atau dicorongkan suaranya, bagaikan angin, tidak terlihat tapi dapat dirasakan.

Sudah seharusnya, sudah selayaknya DJP untuk dibesarkan. DJP yang seharusnya bisa lebih baik dan lebih besar dari ini, yang seharusnya bisa melakukan banyak hal justru dikerdilkan oleh pemimpinnya sendiri atas nama kepentingan dan popularitas.

Pajak adalah Jantung negeri Ini

Pajak memang bukanlah hadiah, atau bonus. Tidak ada yang suka membayar pajak, bisa dikatakan jarang yang sukarela seperti halnya orang membayar zakat atau membayar iuran listrik. Tetapi pajak tetap harus ada dan harus kuat, karena kelangsungan kehidupan negara ini berasal dari pajak.

Mengerdilkannya tanpa disadari kita sama saja mengerdilkan negara ini. Pajak adalah jantung negeri ini, denyut kehidupan negeri, dari sanalah semua roda pembangungan dan kehidupan negara bergantung. Suka ga suka, mau tidak mau, harus dan wajib mengerti, sadar untuk membayar pajak.

Ga suka, sama saja kita menginginkan negeri ini hancur, dan mundur teratur. Ga bayar pajak, apalagi mereka adalah pejabat negara, sama saja mereka menggembosi negara ini, sungguh ironis dengan cita-citanya untuk membangun bangsa.

Mempolitisasi, mengganggunya, bahkan mematikannya, sama saja kita telah menghancurkan negeri ini.

Jadi bagaimana? Masihkah kita harus berlama-lama untuk gagal paham dan sesat pikir tentang pengertian pencapaian penerimaan pajak? Hallo bapak-bapak dan Ibu-Ibu… kapan kita bergotong royong untuk negeri ini dengan membayar pajak. Hallo semuanya, apakah kita tidak ingin negeri ini lebih baik.

Mengambil peran dalam membayar pajak dengan penuh kesadaran adalah sebuah wujud gotong royong dalam keindahan untuk pembangunan negeri ini. Memahami dan mengerti pajak yang akhirnya mau membayar maka kita telah memberikan keringat kita, diri kita menjadi bagian denyut nadi jantung kehidupan bangsa.

Salam Pajak, Salam Indonesia Merdeka, untuk pembangunan negeri, dengan dada Merah Putih

Karena cintaku pada Negeri

Metik Marsiya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *