Suami Ideal
Dulu, saat masih bujang, saya berpikir bahwa nanti saya harus menjadi suami yang ideal. Yang bisa romantis sekaligus cool, yang syar’i sekaligus trendi, yang pintar sekaligus pengertian, dan segala macam atribut kelelakian yang lain. Di masa-masa itu pula saya mencoba segala jenis hal untuk memperkaya khazanah dan kapasitas pribadi saya, dengan harapan semua pengalaman tadi akan membantu saya menjadi the perfect husband.
Namun seiring dengan delapan tahun bahtera rumah tangga ini, saya makin mengerti bahwa ideal itu ukuran yang tidak mungkin diraih, at least for me. I have my own limitations.
Jadi, saya mulai mengambil jalan kompromi. Semisal karena saya tidak berbakat untuk menjadi cool, maka saya akan jadi suami yang menyenangkan, totally fun. Yes we had fights, tapi pasti sesegera mungkin diselesaikan dan kamipun berbaikan. Being fun juga tidak berarti can’t be serious. Saya masih sangat serius saat membicarakan rencana-rencana masa depan kami, semisal mutasi ke homebase kapan, nanti anak-anak sekolah dimana, kapan saatnya punya anak lagi, dan sebagainya.
Saya merasakan, dengan menurunkan standar, i’m minimizing my disappointment at myself. I’d love to be a perfect husband, but i’ll statisfied with being a loving husband.