“Kesesatan” Tarif PPh Pasal 15
Tiap kali ada yg bertanya berapakah tarif PPh pasal 15 ?, saya selalu tidak tahan untuk berkata bahwa tidak ada tarif PPh pasal 15 di Indonesia.
Menurut saya Tarif pajak penghasilan itu hanya ada di Pasal 17 dan pasal 4 ayat(2) UU PPh.
Pernyataan saya ini tentu saja akan diprotes oleh kolega yg mengetahui bahwa ada tarif PPh pasal 15 untuk pelayaran (baik dalam negeri maupun Luar negeri), penerbangan dan Kantor perwakilan Dagang Asing (KPDA).
Memang ada Norma penghitungan khusus Penghasilan netto bagi Wajib Pajak tertentu misal Pelayaran, penerbangan, KPDA dan Perusahaan Drilling asing. Tetapi jelas itu bukan tarif PPh.
Berdasarkan KMK nomor 416/KMK. O4/1996 misalnya dinyatakan bahwa norma penghitungan khusus penghasilan netto untuk perusahaan pelayaran Dalam negeri adalah sebesar 4% dari peredaran bruto kemudian ditetapkan PPhnya sebesar 1,2% dan bersifat final.
Berdasarkan KMK nomor 417/KMK. O4/1996 dinyatakan bahwa norma penghitungan khusus penghasilan netto untuk perusahaan pelayaran dan atau penerbangan Luar negeri adalah sebesar 6% dari peredaran bruto kemudian ditetapkan PPhnya sebesar 2,64%% dan bersifat final.
Berdasarkan KMK nomor 634/KMK. O4/1994 Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1 % (satu persen) dari nilai ekspor bruto. Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat perseribu) dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.
Dengan merujuk 3 contoh diatas maka pernyataan bahwa tidak ada tarif PPh Pasal 15 merupakan pernyataan tidak berdasar dong.
Tunggu dulu
sebenarnya apa sih PPh Pasal 15 itu ?
Bunyi Pasal 15 UU PPh adalah “Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan”.
Ini artinya Menteri keuangan memang berwenang menetapkan Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu. Itulah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan saat itu dengan menerbitkan KMK.
anda tidak salah baca, memang KMK bukan PMK.
kenapa saya menegaskan hal ini ? itu untuk menunjukkan betapa tuanya peraturan ini. lebih dari 20 tahun lho.
Dan karena tidak diubah maka ini menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal.
contoh Norma Penghitungan Khusus untuk Pelayaran Dalam negeri adalah 4% sehingga PPh terutang sebesar 1,2%.
Darimana datangnya angka ini ? itu adalah perkalian dari 4% X 30% = 1,2 %.
anda melihat ada yang aneh ?
tarif 30% adalah tarif saat KMK tersebut diterbitkan. Bagaimana jika saat ini tarif turun menjadi 25% dan sebentar lagi turun sampai 20% saat omnibus law disahkan.
Norma Penghitungan Khusus untuk Pelayaran dan atau penerbangan Luar negeri adalah 6% kemudian ditetapkan PPhnya sebesar 2,64%% dan bersifat final.
Darimana datangnya angka ini ?
itu terdiri dari PPh dan Branch Profit Tax (BPT).
PPh 6% X 30% = 1,8%
BPT 6% (1-30%) X 20 % = 0,84 %
Dijumlahkan sehingga ketemulah tarif 2,64%
tetapi bila di Tax Treaty dinyatakan hak pemajakannya dibagi antara negara Domilisi dan negara Sumber maka tarinya menjadi 50% X 2,64% = 1,32 %
Kembali lagi, karena tarif PPhnya saat itu adalah 30% maka sebenarnya saat tarif PPh turun menjadi 25% maka tarifnya menjadi tidak tepat.
Bagaimana dengan Kantor Perwakilan dagang Asing ?
Berdasarkan KMK nomor 634/KMK. O4/1994 Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1 % (satu persen) dari nilai ekspor bruto. Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak KPDA adalah sebesar 0,44%,
angka ini tu terdiri dari PPh dan Branch Profit Tax (BPT).
PPh 1% X 30% = 0,3%
BPT 1% (1-30%) X 20 % = 0,14 %
dijumlah ketemulah 0,44%
pada prakteknya bisa terjadi KPDA dari negara seperti Jepang menggunakan tarif 0.37% karena berapendapat bahwa seharusnya BPTnya hanya kena tarif 10% bukan 20% dengan perhitungan sbb:
PPh 1% X 30% = 0,3%
BPT 1% (1-30%) X 10 % = 0,07 %
dijumlah ketemulah 0,37%
Lagi-lagi, karena tarif PPhnya saat itu adalah 30% maka sebenarnya saat tarif PPh turun menjadi 25% maka tarifnya menjadi tidak tepat.
Tetapi memang agak lucu karena Wajib Pajak tidak protes tentang hal ini. bisa jadi karena dianggap tarifnya relatif rendah.
Sebenarnya soal tarif bukan hal satu-satunya hal yang tidak pas dalam pengenaan Pasal 15 untuk 3 contoh diatas. Pengenaan Pasal 15 yang bersifat final sebenarnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Pasal 15 UU PPh jelas berbeda dengan Pasal 4 ayat(2).
Di Pasal 4 ayat (2) UU PPh dinyatakan
“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b penghasilan berupa hadiah undian;
c penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
artinya tidak ada landasan hukum untuk menyatakan bahwa Norma Perhitungan khusus bisa mengatur soal PPh Final. karena Norma Perhitungan khusus dalam Pasal 15 diatur dengan Keputusan menteri keuangan, sedangkan ketentuan terkait PPh Final yang ada dalam Pasal 4 ayat(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebenarnya ada Pengaturan soal PPh Pasal 15 yang tidak offside yaitu soal Pajak untuk Usaha Pengeboran migas asing.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 628/KMK.04/1991 diatur bahwa Penghasilan netto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto.
Beleid ini tidak mengatur berapa tarifnya dan sifatnya (Final).
WP cukup menyatakan penghasilan nettonya adalah 15% dari kontrak dikalikan tarif PPh Pasal 17. Apabila tarif turun dia juga akan menikmati penurunan tarif tersebut.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa Ketentuan tentang Tarif PPh Pasal 15 final untuk 3 contoh diatas adalah kurang tepat.
Mengingat Peraturan tersebut sudah cukup lama maka sebaknya DJP membuat aturan soal Norma Penghasilan Khusus menurut kuasa Pasal 15 UU PPh yang baru dan lebih sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu hanya menetapkan Norma perhitungan khususnya dan tidak menyatakan sebagai PPh yang bersifat Final
Widpram
12022020