Kami Nggak Kerja, Kalian Nggak Gajian
“Kami nggak kerja, kalian nggak gajian.”
Kamut (kata mutiara) satir ini sering muncul tiap kali netijen membicarakan tukin pegawai DJP a.k.a fiskus, meski tak jelas riwayat dan sanad ungkapan ini muncul dari siapa. Sekilas terlihat benar jika melihat proporsi penerimaan pajak dalam APBN yang membesar tiap tahunnya. Namun tentu saja the devil is in the details, ndak segenting itu profesi fiskus ini ferguso!
Anggaran gaji ASN tahun berjalan sudah diketok palu oleh DPR/D, sehingga tidak mungkin ASN tidak gajian apabila sudah dianggarkan dalam APBN/D. Terlebih lagi ongkos politis menunda/memotong gaji ASN sangatlah besar. Yang lebih mungkin terjadi selain penundaan/pemotongan gaji adalah penambahan hutang pemerintah pusat untuk menutup defisit APBN atau pemotongan anggaran belanja non pegawai dalam APBD. Jadi tidak segampang itu fiskus tidak bekerja kemudian penerimaan negara berkurang dan menimbulkan kekosongan anggaran untuk gaji ASN. Ini dulu yang harus dipegang.
Pertanyaan besarnya adalah: Apakah apabila fiskus tidak bekerja, negara akan langsung kolaps?
Secara definisi, pajak adalah iuran wajib yang tidak mendapatkan imbal balik langsung. Artinya bahkan untuk penyelenggara negara di level terendah (baca: ASN umbies) pun tidak merasakan efek langsung terhadap gaji atas pajak yang dikumpulkan oleh fiskus pada tahun berjalan. Fiskus sekedar menyeimbangkan neraca anggaran pada akhir tahun sehingga pengeluaran tidak lebih besar dari penerimaan+pembiayaan. Untuk urusan tahun berjalan, setiap defisit penerimaan negara sudah dengan sigap diantisipasi oleh kawan-kawan di ditjend sebelah, jadi tentu saja kolaps dalam rentang setahun anggaran tentu tidak akan terjadi. Namun tahun depan dan selanjutnya? Apakah pada periode anggaran berikutnya, sisi debit mampu tercukupi?
Maka peran fiskus yang jauh lebih penting adalah menjaga keberlanjutan pembiayaan aktivitas negara pada tahun-tahun berikutnya. Karena dengan dipilihnya self-assement sebagai kebijakan penarikan pajak, negara memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajaknya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Fiskus hanya membangun sistem edukasi, pengawasan, dan penegakan hukum atas pelaksanaan self-assesment tersebut. Fiskus bisa menggunakan semua aturan dan alat at his disposal, tapi kalau Wajib Pajak tidak bayar, trus mau apa? Penagihan aktif memakan proses yang cukup panjang. Sanksi politis dengan pengurangan hak sebagai warga negara juga tidak dimungkinkan karena tidak ada payung hukumnya. Sanksi sosial dengan memasang nama-nama penunggak pajak per kelurahan misalnya, malah melanggar undang-undang kerahasiaan data Wajib Pajak. Jadi fiskus’s hands are tied.
Pelanggaran yang receh dan sporadis mungkin tidak mengganggu neraca tahun berjalan, tapi jelas merusak sistem edukasi yang dibangun oleh fiskus. Selayaknya virus yang menyebar dari satu inang ke inangn berikutnya, pelanggaran-pelanggaran yang tidak diatasi dengan baik akan menimbulkan demotivasi Wajib Pajak yang sudah patuh selama ini, merasa bahwa ketika tidak patuh pun tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal, sehingga satu-dua akan mulai ikut tidak patuh. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, receh demi receh menjadi raksasa.
Di sisi lain, tunjangan kinerja yang diterima DJP selalu disorot karena berbeda daripada tukin kalangan buruh negara yang lain. Tukin DJP bukan hanya untuk meminimalisir korupsi, namun juga untuk mencegah braindrain lebih banyak. Saat di Borneo dulu, yang saya hadapi per Wajib Pajak seringkali adalah dalam bentuk satu tim accounting/finance/tax. FYI, di kantor pajak saat ini, sistem kerja yang berjalan adalah satu WP diampu oleh satu pengawas a.k.a Account Representative (AR), dan satu AR bisa pegang seratusan Wajib Pajak (AR Strategis) atau ribuan Wajib Pajak (AR Kewilayahan). Pada AR Strategis, bila diibaratkan ini pertempuran, seorang fiskus itu akan menghadapi pasukan yang 3x lebih besar (AR+Kasinya vs tax div), dengan persenjataan (THP) seperlima dari musuhnya, dengan zona yang lebih luas untuk dijaga (100 WP vs 1 grup WP). Tak menjadi bahasan publik bahwa hampir tiap SK mutasi keluar, meningkat pula frekuensi surat pengajuan resign yang diterima oleh Setditjen Pajak. Karena dalam beberapa skenario, selisih THP yang didapatkan paska mutasi tidak berbeda jauh dengan ‘menyeberang pihak’ plus lokasi yang lebih terjangkau dan benefit tambahan yang tidak didapatkan saat masih berkubang di public sector.