Pemisahan Bukanlah Titik Fokus Reformasi Kelembagaan Pajak

Bagaikan peristiwa yang terjadi dengan pasangan selebriti di Indonesia dalam gossip selebritas, suami istri selebriti akan bercerai, seluruh infotainment memberitakan lalu munculah pertanyaan dari kita semua, perlukah bercerai?

Perceraian tentu ada alasan, tidak ada orang tiba-tiba ingin berpisah tanpa sebab. Berpisah sudah tentu untuk kebaikan yang lebih besar. Lalu bagaimanakah dengan Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan?

Pernyataan bu Sri Mulyani Menteri Keuangan mengenai hal ini melegakan dan menggembirakan. Beliau menyebutkan bahwa pelaksanaan reformasi pajak harus dilakukan dengan bersungguh sungguh. Ada dua elemen penting reformasi pajak yang tidak terpisahkan.

Satu, institusi pajak, DJP, kelembagaannya, yang harus terus menerus diperbaiki, dari sisi struktur, kewenangan, posisi; semua harus mampu mencerminkan kewenangan yang memang harus dimiliki. Lembaga yang efektif, yang kredibel, yang dihormati masyarakat. Ini amanah yang sangat penting, kesimpulannya bahwa ada hal yang krusial yang perlu diperbaiki terkait institusi pajak, yaitu struktur organisasi, kewenangan, posisi pertanggungjawaban serta Kedua adalah SDM.

Saya pribadi sependapat dengan bu Sri Mulyani, namun mungkin saya ingin membuat pernyataan bu Sri Mulyani menjadi lebih sistematis yang saya yakini mungkin keterbatasan waktu saat itu yang membuat beliau mensederhanakan apa yang ingin disampaikan namun bila belum sesuai, saya mohon dimaafkan dan dikoreksi.

Bila ingin melanjutkan reformasi kelembagaan pajak, maka mari kita lihat dalam lingkup lebih luas dahulu. Secara menyeluruh, tata kelola dalam melaksanakan administrasi perpajakan dibagi 4 (empat) level. Paling bawah di level 4 adalah enabler yaitu hal hal yang memungkinkan administrasi pajak bergerak seperti SDM, Anggaran, Aset dan struktur organisasi termasuk pola pertanggungjawabannya serta kewenangan. Kembang kempis tajam dan tumpulnya suatu proses dan strategi sangat tergantung dengan enabler ini.

Level ke tiga adalah proses administrasi perpajakan atau mungkin lebih dikenal dengan pilar pilar administrasi perpajakan. Pada level ini semua proses dan Rencana Strategis  direncanakan dan diterapkan diikuti dengan penyesuaian pada level empat. Level selanjutnya adalah level kedua yaitu level output. Level ini adalah hasil yang diharapkan atas dampak langsung dari proses administrasi dan strategi dikarenakan sebagian besar berada dalam kontrol institusi pajak (dari proses administrasi dan strategi pada level tiga). Hasilnya yaitu kepatuhan wajib pajak dari sisi formal maupun material.

Terakhir adalah level outcome atau bisa disebut hasil yang diharapkan secara langsung ataupun tidak langsung namun amat tergantung dengan situasi pertumbuhan ekonomi dan keadaan ekonomi global yaitu penerimaan pajak. Penerimaan pajak tidak sepenuhnya dapat dikontrol institusi pajak. Dapat disimpulkan bahwa fleksibilitas atas enabler di level 4 harus mengikuti irama gerak strategi dan proses bisnis institusi pajak pada level 3 sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak guna mencapai target penerimaan yang ditetapkan baik scara sukarela atau tidak.

Sekarang kita mulai memahami bahwa titik berat reformasi kelembagaan pajak ada pada level empat, yaitu agar enabler dapat menyesuaikan pada strategi dan proses apa yang dipilih pimpinan institusi untuk mencapai target yang diberikan . Tentu harus ada payung hukum yang memungkinkan institusi pajak untuk mengembang-kempiskan enabler-nya guna menghasilkan strategi baru atau menajamkan strategi yang ada.

Kita ambil satu contoh yaitu SDM, mari kita mulai dengan fakta bahwa Ditjen Pajak memiliki kurang lebih 40 ribu pegawai. Bila kita bandingkan dengan penduduk Indonesia sejumlah 240 juta maka satu orang pegawai pajak akan menangani 6315 orang (tanpa memperhitungkan jumlah badan usaha). Hal ini terlihat sangat jauh dibandingkan dengan negara negara maju seperti Jepang (1: 1818) dan Australia (1: 1000) ditambah negara negara tersebut sudah didukung fasilitas IT mumpuni dan keterbukaan akses informasi perbankan. Terkait hal ini tentu tidak melulu dibicarakan kuantitas melainkan juga kualitas sehingga institusi pajak harus mampu memberikan penghasilan dan benefit yang kompetitif untuk menarik tenaga kerja pilihan di luar dan mempertahankan pegawai pegawai terbaiknya di dalam.

Dari hal di atas, maka terlihat betapa dibutuhkannya fleksibilitas mengenai tata cara perekrutan SDM, pengaturan penghasilan dan benefit yang kompetitif, mekanisme kompensasi, mekanisme jenjang karir dan sebagainya, yang kesemuannya harus disesuaikan dengan strategi dan target yang ditetapkan.

Bagaimana dengan kondisi saat ini, selama pegawai pajak masih berstatus aparatur sipil negara maka akan tunduk dengan aturan aparatur sipil negara. Lalu apakah bisa institusi pajak diperlakukan berbeda dengan instansi pemerintah lainnya? Jawabannya adalah ‘Bisa!’ asalkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi selaku bohir dari aturan ASN memberikan pengecualian atau aturan khusus yang mengatur institusi perpajakan. Selama itu tidak ada, maka SDM kelembagaan pajak kelak harus tetap tunduk terhadap UU ASN dan turunannya.

Terdapat cara lain yang juga sudah digunakan oleh instansi lain yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, pegawai pajak diatur oleh UU tersendiri sehingga berada diluar pengaturan UU ASN atau dapat disimpulkan bahwa pegawai pajak adalah aparatur negara bukan ASN. UU tersebut sendiri dapat diamanahkan dari pasal 23A UUD 1945 yaitu Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Selain itu mekanisme ini juga mempermudah mekanisme ASN untuk tetap konsisten dan berjalan dengan berkesinambungan karena tidak memberikan pengecualian. Pilihan ini juga jelas mempermudah merealisasikan keinginan ibu Sri Mulyani agar aparat pajak memiliki integritas tinggi, kompeten dan berkinerja baik.

Bila disetujui pilihan kedua, yaitu dengan menetapkan pegawai pajak bukanlah aparatur sipil negara sehingga harus diatur terkait manajemen SDMnya mulai dari pola perekrutan dan pemberhentian, reward and punishment, penggajian dan pensiun, pola karir , promosi dan mutasi. Hal tersebut akan berdampak terhadap sisi anggaran dan organisasi dimana harus juga fleksibel agar fleksibilitas SDM dapat berjalan baik karena saling terkait. Misalnya institusi pajak dapat menegosiasikan penghasilan untuk rekrutan namun ternyata anggaran yang akan digunakan tidak ada atau ada namun tidak bisa dipindahkan dari akun lainnya. Contoh lainnya adalah bagaimana bila merekrut pegawai dengan banyak namun tidak diimbangi dengan perluasan atau penambahan unit kantor atau fasilitasnya.

Selain itu, tentu dampaknya akan menyebabkan institusi pajak sudah tidak bisa lagi berbentuk Direktorat Jenderal, Lembaga Pemerintah Non Kementerian bahkan Kementerian sekalipun karena mengacu pada UU nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara telah diatur bentuk strukturnya sehingga tidak fleksible dan bila mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 1, poin nomor 1, 15 dan 16 cukup jelas bahwa pegawai yang bekerja di instansi pusat yaitu Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kesekretariatan Lembaga Negara dan Kesekretariatan Lembaga Non struktural adalah berstatus tunduk terhadap UU ASN.

Berdasarkan hal di atas, pemisahan bukanlah hal yang menjadi penggerak utama reformasi kelembagaan pajak namun substansi terletak pada kelenturan enabler yang memungkinkan pajak untuk menajamkan strategi yang ada atau membuka pintu untuk strategi strategi yang baru guna mencapai target yang diberikan. Jikapun harus berpisah dan berdiri sendiri dibawah Presiden sebagai Kepala Negara maka itulah dampak sampingan atas fleksibilitas enabler seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tentu saja sebagai negara hukum, sebuah payung hukum berbentuk Undang-Undang dibutuhkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi DPR dan Pemerintah mendesain seperti apa institusi pajak yang ideal kelak dan memberikan kekhususan bagi institusi pajak ini sehingga lex specialis atas Undang-Undang yang bersifat generalis. Momentum pembahasan RUU KUP dapat dijadikan titik tolak penetapan UU Kelembagaan Pajak yang baru agar pemerintah sekarang tidak terlalu lama mendapatkan manfaat dari reformasi kelembagaan pajak dan momentum pengampunan pajak yang menggembirakan dapat ditindaklanjuti dengan maksimal.

Seperti yang disampaikan bu Sri Mulyani pada media online pada hari Rabu tanggal 12 oktober 2016 dulu bahwasanya “Jadi bukan masalah badannya tetapi apakah kelembagaan ini bisa melaksanakan fungsinya secara kredibel, secara bersih dari korupsi dan secara efektif. Itu adalah hal yang paling penting. Di dalam konteks ini lah bisa melihat bagaimana bisa membentuk suatu badan yang kredibel, yang dihormati, yang memiliki reputasi yang baik, bisa mengoreksi kesalahan lama, bisa memperbaiki kelemahan yang ada, tetapi juga bisa menjadi lembaga pemungutan pajak yang dihormati dan disegani oleh masyarakat,”  selaras dan sejalan bahwa pembentukan institusi pajak dalam waktu dekat ini tidak boleh hanya berganti baju tapi juga harus terjadi perubahan siginifikan di dalamnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *